Kamis, 17 Juli 2008

Tokoh-tokoh dalam kisah Centhini (Centhini)

Centhini
Si abdi Tambangraras


Di balik sekat berkerawang, Centhini menangkap desah Amongraga dan engah Tambangraras, bulir-bulir peluh di tubuh mereka yang membara dan memenuhi kamar, tempias gerimis. Centhini berjaga, sebab ia ditugasi untuk mengabarkan koyaknya selaput dara agar segera disiapkan jamu godogan kembang curian.

(tembang 71)

Centhini tak meninggalkan selangkah pun tuannya, ia berjalan di sisinya sambil keras-keras menyanyikan lagu-lagu jorok untuk memberi penampilan ugal-ugalan. Dan ketika Tambangraras melepas ikat kepalanya dalam gerakan gasang, memperlihatkan rambut wanitanya, Centhini segera mengaitkannya kembali sambil mengomeli tuannya dengan suara kasar:

"Sadar diri, Tuan Putra! Ketahuilah bahwa di dunia terbalik ini pria adalah wanita dan wanita adalah pria! Berjalanlah dengan gaya jantan, kunyahlah tembakau apak dan rabalah di sana-sini buah zakarmu agar kelihatan sungguh-sungguhan!"

Centhini mengata-ngatai tuan putrinya demi lebih melindunginya, sebab dua perempuan tidak mungkin bisa berkelana sendiri lebih dari satu hari di dunia duniawi ini tanpa dipusingkan pezina yang panjang kontolnya dan pendek pandangannya.

(tembang 139)


Dalam riang pertemuan, Montel si pelayan, menikahi Centhini si abdi. Tetapi di malam pengantin, Centhini sirna. Ketiga pujangga sendiri juga heran tak menemukannya lagi di tembang mereka. Konon untuk menghormati sirnanyalah masyarakat Jawa memberi Suluk adihulung nama si abdi: Centhini.

(Tembang 144)

Tokoh-tokoh dalam kisah Centhini (Sunan Giri)

Sunan Giri

Tahun-tahun berlalu di dunia ini dan di dunia sana. Di istana yang ia dirikan di atas gunung, Sunan Giri bertambah umur, bertambah masyhur. Semua ulama dari Jawa, Sunda, negeri Bugis hingga pulau-pulau yang jauh seperti Ambon dan Ternate, datang sujud di kakinya. Sunan Giri menerima penghormatan ini dan menunjuk para pengganti mereka. Orang menyebutnya sebagai Khalifatullah dan daerah kekuasaannya sebagai Negeri Islam Jawa.

Tapi telah ditakdirkan bahwa perang merupakan ujian seumur hidup. Dan agar tidak menyimpang dari suratan kayangan itu, Raja Brawijaya dari kerajaan Siwa-Budha Majapahit menitahkan patihnya, Gajah Mada, untuk menundukkan Kekhalifahan Jawa.

Serangan dilancarkan ketika Sunan Giri sedang sibuk menyalin ayat-ayat Quran menggunakan kuas. Mendengar jeritan rakyatnya yang berbondong-bondong ketakukan naik mengungsi ke istana, sang Sunan melemparkan jauh-jauh kuasnya, memohon perlindungan Allah.

Dan kuas itu berubah menjadi keris yang menyinarkan kemurkaan Ilahi, matanya yang berkeluk bernyalakan api neraka. Banyak penyerang mati seketika, tergorok, hangus, sedangkan sisanya melarikan diri pulang ke Majapahit. Ketika semua pasukan musuh telah dihancurkan, keris itu kembali menjadi kuas di tangan Sunan Giri. Bulunya bersimbah darah.

Tidak lama kemudian, Sunan Giri pulang ke rahmatullah. Sulung dari kesepuluh putranya menggantikannya dan wafat serta merta. Cucunya, Sunan Giri Prapen, meneruskan tugasnya yang agung. Mendengar orang yang telah mengalahkannya hanya dengan sebatang kuas telah mati, Raja Majapahit melancarkan serangan terakhirnya ke khalifah Jawa. Di serbuan pertama, Giri dijarah dan dihancurkan menjadi abu.

Sunan Giri muda melarikan diri ke arah laut saat prajurit Majapahit naik ke puncak bukit menodai makam leluhurnya yang tersohor. Mereka memerintahkan juru kuncinya, dua orang lumpuh, menggali kembali kuburan itu.

Saat kedua orang cacat itu mengangkat nisan, ribuan kumbang terbang menyerang, meluru para prajurit hingga Majapahit dan membentuk tudung malam tebal di langit, merampas matahari dari kerajaan ini selamanya.

Juru kunci makam raja secara gaib sembuh dari lumpuh serta merta menghambur ke laut menyampaikan kabar terpukulnya Majapahit kepada junjungannya. Sunan Giri kembali ke kerajaan abunya di saat Majapahit runtuh, kehabisan nafas karena lebah-lebah ajaib dan pembelotan putra rajanya sendiri yang kini masuk ke jalan Allah.

Musnah sudah kerajaan hebat yang telah membuat Tanah Jawa menjadi surya Siwa-Budha, yang keemasannya menyinari seluruh Nusantara hingga Siam dan Campa.

Namun, di suatu malam gadang, saat Sunan Giri ziarah di kalbunya bersama Asma’ul Husnâ, cemlorot kebiruan jatuh ke arah beringin barat halaman keputren, menyampaikan kepadanya bahwa kelak akan datang gilirannya ditundukkan oleh seorang raja agung yang lahir di Jawa Tengah, di kerajaan pertanian Mataram, bahwa putra-putranya akan terberai mengembara, saling mencari satu dan lainnya dan mengejar rahasia dirinya sendiri, dan bahwa pengembaraan ini suatu hari nanti akan ditembangkan Suluk terbesar Tanah Jawa.

(Tembang 5)

Tokoh-tokoh dalam cerita Centhini (Sultan Agung)

Sultan Agung

Ki Tumenggung Wiraguna dan pengawalnya kembali senja ke keraton Mataram. Bronjong kosong mereka bawa sebagai bukti keajaiban yang telah terjadi. Di waktu Sultan Agung bersidang, semua dipersilahkan menghadap. Para prajurit dan ulama membuka jalan menembus tiga lingkaran abdi dalem yang jongkok di debu, telanjang dada, kuncir terurai di punggung, mata menatap tanah.

Sultan Agung didampingi di kirinya oleh empat badut cebol, di kanannya empat puluh gadis berlutut, bersenjata tombak yang memancarkan lidah api di atas pundak telanjang mereka. Sultan Agung mengenakan di jemari kedua tangannya serangkaian batu mulia dan intan paling gemerlap.

Ia mendengarkan Wiraguna menuturkan lengkap kisah tugasnya hingga lenyapnya wadak Amongraga di dalam bronjong diceburkan ke samudra. Kemudian, tiga kali menyedot cangklong peraknya, Sultan Agung tersenyum dan berkata:

"Ketahuilah jika aku, aku tidak akan menghukumnya. Kalian semua, ulama dan prajurit dan kamu, Ki Tumanggung Wiraguna, dikirim untuk menghadapi uji coba Keindahan, tapi kalian tak mengenalinya. Kini, enyahlah, semoga kebutaan kalian sirna selamanya dari pandanganku! Hukuman hanya milik Allah!"

(Tembang 133)


Dikatakan bahwa setiap malam jumat, setelah sepanjang hari menerima keluhan rakyatnya di Pengalaran, Sultan Agung pura-pura undur diri ke kediamannya untuk rebahan di samping ratunya, di bawah penjagaan sembilan merak bermata bertaburan bintang. Namun, begitu selesai salat magrib, Yang Mulia mengenakan kain putih layaknya petapa dan menyelinap dari keraton seolah pencuri kuda, jalan berkaki telanjang menuju padepokannya di puncak Gunung Telamaya.

Di atas sana, di balik penyamarannya, ia menyebarkan ajaran tentang ngelmu dan agama. Tak seorang pun di antara banyak tentara, patih dan adipati yang naik minta nasihat kepadanya menduga bahwa orang bijaksana yang berpakaian usang dan memberikan usul itu adalah raja mereka. Semua berpikir bahwa dia adalah seorang petapa tulen yang menyandang gelar Sang Aji Nyakrakusuma.

Demikianlah penduduk desa-desa sekitarnya menyebutnya, sebab orang-orang datang dari jauh untuk menemuinya dan meminta nasihatnya tentang berbagai hal. Beberapa di antara mereka minta agar anaknya pintar, mendapat kedudukan terhormat, uang berlimpah atau obat ajaib. Lainnya minta ilmu keinginan murni, kasunyatan sempurna dan kepahlawanan.

Sang petapa menanggapi semua permintaan itu kecuali yang menimbulkan kejahatan. Ketika dua orang saling membenci, ia berupaya merukunkan keduanya dan meluluhkan perbedaan mereka dalam kesatuan Ilahi. Semua tamunya ingin mengikatkan diri pada harta benda dan rohani, tak seorang pun minta agar bisa lepas dari dirinya sendiri.

(Tembang 148)

Tokoh-tokoh dalam kisah Centhini (Endrasana)

Endrasena
Anak angkat Sunan Giri, orang Cina beragama Islam


Para santri menghentikan sejenak memukul bedug, semua diam dan tunduk ketika satu bayang-bayang gesit mengusutkan keheningan, datang bersila di atas tikar di sebelah Sunan Giri. Ia seorang Cina belia dan tampan, yang karena kepentingan dagangnya, pergi jauh meninggalkan tanah leluhurnya dan diangkat anak oleh Sunan Giri, meskipun beliau sudah mempunyai seorang putra sebaya.

Endrasena namanya, Islam agamanya. Saat melihatnya, hati Pangeran Surabaya tergetar karena merasakan ketegangan para pengawal Endrasena yang berada di belakangnya, di keremangan, yang berkekuatan dua ratus prajurit sebangsanya yang sangat lihai menggunakan pedang serta menguasai jurus pendekar mabuk.
(Tembang 8)

Benturannya seru. Tombak beradu tombak, keris beradu keris, hingga akhirnya pertarungan tanpa senjata dan keputusan Ilahilah yang bicara. Ajian dilantunkan, yang mengguna-guna dan yang diguna-guna baur dalam kekuatan nafas, perang berubah menjadi gumam gaib yang merampas akal para laskar.

Di antara semuanya, Endrasenalah yang paling kerasukan. Ketika melihatnya, Ratu Pandhansari membisiki suaminya: “Orang Cina yang kesetanan perang. Sudah saatnya ia ditumbangkan.”

Begitu Pangeran Pekik mengangguk setuju, Ratu Pandhansari mengokang senapan genggamnya, membidik dan menembak tangan kanan Endrasena yang tersentak terkejut, terlepas pedangnya. Tangan kirinya menggenggam keris dan semakin membabi buta, tapi Ratu Pandhansari menembak untuk kedua kalinya dan kedua tangan pemuda Cina itu pun buntung. Endrasena belum sempat meraung kesakitan ketika Ratu Pandhansari sudah membidikkan lagi senapannya dan menembak kaki kiri lawannya yang segera ambruk.

Melihat pemimpinnya roboh, para pejuang Giri berteriak kocar-kacir, ada yang terguling ke jurang, menghambur masuk gua, loncat ke laut, menghilang di bukit. Dalam sekejap tidak satu prajurit pun tampak lagi, bersih disapu angin.

Endrasena dihujani tombak, ia melontarkan pandangan terakhirnya kepada Ratu Pandhansari yang girang menang:

“Wahai, Ratu, jihad kecil usai sudah. Banjir darah. Tapi di dalam jihad kecil ini kita berdua belum menempuh gurun roh dan jurang raga. Kemenangan belum membawamu sampai ke pengungkapan Ilahi, dan sayang, kejatuhanku tidak akan membukakanku dunia Kegaiban. Sekarang kita harus berangkat ke jihad besar...”

Satu tombak terakhir menembus Endrasena. Dalam pelukan yang hebat, tubuh luluhnya menyatu dengan pertiwi.

(Tembang 10)

Tokoh-tokoh dalam cerita Centhini (Tambangraras)

Tambangraras
Istri Amongraga

Ki Panurta memang mempunyai seorang putri yang tersohor kecantikannya, kemahirannya tentang ilmu-ilmu mujarad serta bakatnya bersyair. Wajahnya laksana rembulan tirta bersinar dari dalam karena kecerdasannya yang sedemikian hidup telah menyulap matanya menjadi dua kejora dan bibirnya bagaikan arit perak di ladang langit hijau. Tangannya tembus cahaya langka, serupa sayap malaikat ketujuh, dan tentang tubuhnya yang selalu terselubung kata orang tiada terhingga.

Ia menjadi buah mulut seluruh negeri dan digandrungi semua bujang. Banyak yang ke Wanamarta melamarnya. Gagal. Gadis itu telah bersumpah hanya akan menikahi pria yang ilmunya mengungguli ilmu ayahnya. Tambangraraslah namanya."

(Tembang 62)


Tambangraras berbaring ke ranjang madunya yang hiasannya di angin dingin masih menghembuskan wangi asmara, ia bergulung di selimut kelamnya dan mimpi. Amongraga masuk ke kamar, bertelanjang dan duduk bijaksana dalam padma merahnya. Lama mereka diam begitu, berpelukan, waspada dan pasrah satu dalam lainnya.

Hujan hangat turun malam itu bagai air mendidih dituang atas daun-daun teh kering yang segera membebaskan harum wangi pegunungan di kerongkongan. Bunyi hujan menarik Tambangraras dari lelapnya, di pekarangan seseorang menumbuk padi. Butir-butir padi berhujanan di lumpang, alu menumbuk mimpi.

Tambangraras duduk di ranjang dan menangis. Isaknya membangunkan Centhini yang lalu ia ceritai mimpinya.

"Mimpi adalah kembang kehidupan ke depan, jadi jangan sedih, Tuan Putri, itu tanda bahwa Amongraga tidak mati. Keringkan air mata Tuan dan cepat berpakaianlah, kita berangkat malam ini mencarinya!"

Centhini menyodorkan seperangkat pakaian lelaki ke Tambangraras, celana panjang kuning berpelipit, sabuk katun tebal, baju hijau berleher tinggi, juga ikat kepala triwarna.

Centhini berpakaian sama: "Mari, kita masuk ke pengembaraan mumpung malam masih dalam!"

Tambangraras cepat berganti pakaian, tak dapat dikenali lagi, seperti pujangga kelana, bebas dan gandrung. Ia menyusun sebuah surat pendek untuk berpamitan kepada orang tuanya: Ayah Ibu tercinta, aku meninggalkan rumah dan masuk ke pengembaraan seperti masuk ke tapa brata, agar semua ajaran almarhum suamiku merasuk ke tubuh dan hatiku di setiap langkahku nan penuh bahaya. Ia meletakkan surat itu di tempat terlihat di atas bantal, di samping rukuhnya.

Tambangraras memulai perjalanannya hanya dengan diterangi sinar rembulan. Ia pergi di hari senin, tanggal 14 bulan Rajab, bersama abdinya Centhini, dan hanya membawa kantong uang dan satu sisir, dan tembang ini di bibir:

Air pasang dari hulu
Hujan lebat pulang menambak
Matahariku pergi dahulu
Kususul bagai awan tergerak.

(Tembang 136)

Tokoh-tokoh dalam cerita Centhini (Cebolang)

Cebolang
Anaknya Cheikh Akhadiyat di Sokayasa


Cebolang bertubuh luwes dan licin layaknya penari Ramayana dan berparas indah bagaikan gadis yang sedang mekar. Keelokannya yang kabur telah membakar semua budi dalam raganya, dan ini di luar kehendaknya, sebab tiap kedipnya, tiap kial tangannya, menyulut nafsu wanita maupun pria yang tersentuh olehnya, walau tak sengaja.

Ketiga pujangga yang ditugasi menyusun Sang Suluk itu sendiri terganggu oleh kehadiran lancang remaja ini dalam macapat mereka sehingga mereka menyerahkan tembangnya yang paling liar kepada Putra Mahkota Surakarta Adiningrat. Anom Amengkunegara III sangat gembira bisa membubuhkan gayanya dalam karya yang ia pesan.

Beberapa oknum kraton yang picik pikirannya mencela Minggatnya Cebolang seolah-olah itu wanita piaraan pangeran. Mereka berkasak-kusuk agar tembang-tembang ini dikeluarkan dari Suluk dengan dalih akan menodainya. Sebenarnya Minggat itu suatu cermin. «Pendengar yang munafik, sesamaku, saudaraku!» catat Anom Amengkunegara di prakata Minggat yang lantas menjadi karyanya.

Kepada ayahnya, Baginda Pakubuwono IV, yang mahir tulisan ilmiah mengenai tata krama dan sopan-santun, ia berkata: "Akan Ananda buktikan, Ayanda, bahwa nafsu-nafsi Ananda, suatu hari nanti, akan membimbing Ananda kepada Ilmu Kasampurnan. Harus kita kenali kebatilan di ambang jalan kebatinan."

Sayang, setelah Pakubuwono IV wafat, Pangeran Anom begitu naik takhta segera dijemput malaikat raja singa. Sudahkan beliau mencapai Ilmu Kasampurnan ? Babad Kraton bungkam mengenai masa pemerintahannya yang kilat itu, sebab seseorang tidak bisa menjadi raja dan bebas. Namun Minggatnya Cebolang naik saksi.

(tembang 25)


Usai kata-kata itu, Cebolang mencampakkan selendangnya, memperlihatkan dadanya yang rata dan melepas sarung yang menutupi lingga mahoninya. Nyai Demang mendekatinya pelan-pelan untuk menjinakkannya dengan pandangan matanya: “Aku belum pernah melihat apa pun setampan ini!” katanya. Cebolang lalu menutup kelambu dan menggeser sekat wangi berkerawang di bawah nyanyian orang kasmaran mabuk terperosok ke lubuk perigi:

Di susunya jamur biru
Kembang-kembang kusam di sanggul
Batangnya bagai bandulan bambu
Di dasar sumur gandrung

Biarlah gong mengguncang wayang
Mengaburkan tubuh satu dalam lainnya
Biarlah melampaui malam ini menyebar
Kabar takjub tak terkata mereka.

(Tembang 44)

Tokoh-tokoh dalam kisah Centhini (Amongraga)

Amongraga
Putra sulung Sunan Giri
Pada awal Centhini, Amongraga bernama Jayengresmi
.

Pada saat pertempuran mencapai puncaknya, Jayengresmi mencari Jayengsari dan Rancangkapti, kedua adik kandungnya. Ia bermaksud membawa mereka dalam pelariannya, namun ia tidak menemukannya di istana yang kini sudah menjadi kobaran api. Dengan hancur hati ia meninggalkan Giri, seperti emas lahir dari kisaran air.

« Jangan risau, biarkan rasa mengikuti kesedihan hatimu. Ingat, kamu adalah keturunan Kyai yang hebat. Biarkan kobaran api yang sulit dipadamkan terus menyala. Nanti, ketika mati sendiri, segala kotorannya akan lenyap. Itulah sebabnya biarkan hidup keindahan emas ini ! »

Demikian putra mahkota Giri pergi tanpa seorang pun tahu, bahkan dirinya sendiri, arah mana dituju. Hanya Allah yang mengarahkan segalanya, melihat bagaimana Jayengresmi berkelana masuk Suluk.

(Tembang 11)


Amongraga mengarahkan pandangannya yang silau ke Tambangraras : “ Dinda, kau duduk di situ, di haluan ranjang pengantin dan aku di buritan. Andai pun saling terulur sejauh bisa, tangan-tangan kita tiada kan bersentuhan karena kecemasan antara kita sedemikian besar. Namun hatimu sudah dalam hatiku dan hatiku dalam hatimu, kau dengarkah keduanya berdebar-debar, gugup karena asmara ? Padahal kegugupan adalah halangan sanggama.

Jika kau tidak keberatan, Dinda, dan dengan rahmat Allah, mulai malam ini berdua kita akan berlayar dalam diam untuk menentramkan nafas satu dalam yang lainnya, dan agar kau jadi buritan dan aku haluan. Awalnya pelayaran ini akan terasa kejam, penuh larangan, sebab ancaman karam sangat besar. Kita akan dibawa selama empat puluh malam mengarungi tujuh lautan, silih berganti.
(tembang 72)