Jumat, 08 Agustus 2008

PENGAKUAN CENTHINI




















Aku adalah kenangan bersama seratus dua puluh juta manusia Jawa, pengembaraan edan luar batas, dua belas jilid, empat ribu dua ratus halaman, tujuh ratus dua puluh dua tembang, dua ratus ribu bait lebih, begitu kata pembacaku langka.

Sebenarnya aku tiada lagi. Maksudku aku, si naskah asli, maha karya sastra Jawa. Aku kan sekarat di ranjang raja, digerogoti jamur pancaroba? Aku kan sudah terbakar saat api berkali-kali melalap Kraton? Aku kan telah diabaikan menyusul kematian junjunganku, Pangeran Anom Hamengkunegara III, yang digondol raja singa di tahun ketiga pemerintahannya, sebagai Susuhunan Paku Buwono kelima? Kan orang takut ketularan buku itu? Lalu mengapa, setelah hampir empat puluh tahun dimulainya penyusunanku, yaitu di 1850, Susuhunan ketujuh Surakarta menghadiahi Ratu Belanda naskah maha karya itu, apa adanya, dari jilid lima hingga sembilan? Padahal justru jilid sembilanlah yang paling nakal dan konon disusun oleh sang Pangeran sendiri? Aku tiada lagi, tapi untungnya orang menyalinku bisa bicara mewakiliku.

Oh, lupa aku memperkenalkan diri. Suluk Tambangraras namaku. Dalam pewayangan, Suluk adalah "suara meninggi". Itu juga merupakan istilah yang dipakai untuk mengacu pada semua sastra gaib Jawa kurun Islam. Adapun Tambangraras, ia istri si tokoh utama. Namun orang lebih umum menyebutku Serat Centhini. Centhini adalah nama abdi Tambangraras. Aku tidak keberatan tentang itu, walau memang agak menghina bagi karya mega disebut dengan nama seorang pembantu. Aku lebih memandangnya sebagai suatu keakraban, kedekatan yang menyentuh antara para pembacaku denganku, atau sebagai suatu upaya kaleng dan makar yang dengan sengaja mengangkat wong cilik menjadi tokoh tersohor.

Tapi siapakah sebenarnya yang menyusunku? Syair-syair yang bisa kusebutkan dengan pasti pengarangnya adalah syair-syair sang Pangeran sendiri. Tembang-tembang itu dapat dikenali dari guratan-guratan syahwat dalam gaya seperti ini:
Dan begitulah mereka duduk, satu dan lainnya, dengan si lelaki dalam kedudukan sedikit miring di antara kedua kakinya. Mereka memamah sirih sepenuhnya sambil goyang bersetubuh, menutup mata menyelaraskan diri dengan turunnya lingga buta ke jurang liang sanggama.



Aku terkenang lagi Anom Amangkunegara III, remaja yang disingkirkan dari keraton karena bundanya mati muda, menantang ayahnya, sang Susuhunan yang memarahinya karena kebandelannya:
"Akan Ananda buktikan, Ayah, demikian jawab sang Pangeran, bahwa hidupku yang kelewatan ini akan membawaku suatu hari nanti pada Ilmu Kasampurnan. Kita harus mengenali kebatilan di gerbang jalan kebatinan." Ia lalu memanggil ketiga pujangga kraton, membekalinya sepuluh ribu ringgit emas serta memerintahkan mereka menyusunku, aku, Serat Centhini.











Tahun 1814, di Jawa Tengah, di Kraton Surakarta. Pada saat sama, enam puluh kilometer dari sana ke arah barat, di kraton saingannya, Ngayogyakarta Hadiningrat, mendidih pemberontakan yang meledak sepuluh tahun kemudian di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Di 1822, Gunung Merapi meletus hebat, pertanda sial. Jadi aku lahir di jaman huru-hara manusia dan alamnya.
Di Kraton Surabaya, Pangeran Anom Hamengkunegara tak tahan tekanan penjajah beserta upacara-upacara yang sudah membatu di kratonnya. Aku menjadi tembang kebebasannya, alam mimpinya yang kejadian dan kejahatannya menjiplak tata cara kraton sehingga para bangsawan menemukan dirinya dalam tembang-tembangku.
Tapi apa yang kutembangkan?
Kutembangkan pengembaraan luar batas, pengembaraan dua putra serta seorang putri belia yang terpaksa lari dari Kerajaan Giri karena diserbu tentara Sultan Agung yang di abad XVII menundukkan hampir seluruh Pulau Jawa. Dalam kekalutan peperangan, si sulung kehilangan kedua adiknya. Selama saling pergi mencari itulah kedua putra dan sang putri mencicipi semua kebijaksanaan dan segala pelanggaran yang tumbuh subur di Tanah Jawa di candi-candi yang terlantar, di puncak foya-foya mewah, di hutan belantara yang dikuasai jin-jin mbalelo, di mulut-mulut gua yang pekat, di dipan-dipan panas pondokan serta di kedalaman terang samudra. Mereka mengajak gabung orang-orang yang mereka temui di jalan di kekacauan pengembaraan mereka sendiri: pedagang keliling, para penembang, penggamel, ledek, banci, sastrawan sufi, pelacur, petapa hindu-buddha, pandai besi, dukun, guru kanuragan, kecu, segala orang bebas, pelarian atau paria yang, di luar kekuasaan, menemun serta mengutak-utik jaringan khayal syahwat dan roh Tanah Jawa. Para tokohnya tidak henti-henti tersesat dan salin menemukan kembali pada nama dan tempat lain, bahkan beda hakiki. Pengembaraan mereka dengan cepat meluber melampaui batas wilayah yang dikenal dan melebur menjadi suatu rasi angan-angan: Dunia Terbalik.

Aku tak pernah lelah berulang-ulang membacaku untuk mengerti kenapa dalam dua abad aku menjadi serat yang tak terbaca! Ya, aku kabur! Hampir layaknya tulisan paku. Kuhitung siapa yang masih mampu menguraiku: hanya beberapa ratusan saja di muka bumi ini.

Untungnya, aku telah dilatinkan. Prakarsa itu berasal dari seorang Jawa keturunan Cina dari Yogyakarta: Haji Karkono Kamajaya. Pada usia melampaui delapan puluh tahun, dengan rambut yang lebih putih ketimbang salju, sambil tertawa ia mengakui bahwa dulu ia merupakan salah seorang penyelundup candu terbesar di Indonesia. Pada hari kemerdekaan, Karkono adalah reporter muda ternama, dekat dengan Bung Karno. Orang Belanda buru-buru meninggalkan Pulau Jawa, membiarkan berton-ton candu di gudang. Untuk membiayai pembangunan Indonesia, Presiden Soekarno minta pada teman-teman petualangannya, antara lain Karkono, untuk menyelundupkan barang-barang itu ke luar negeri. Begitulah berbulan-bulan, Karkono melalukan penyeberangan di malam hari mondar-mandir Jakarta Singapur naik sampan bermotor gelap, penuh muatan madat.

Setelah kekuasaan direbut Soeharto di 1967, Karkono menjauhi dunia kewartawanan dan politik. Ia mendirikan yayasan untukku sendiri, Yayasan Centhini, dan mulai saat itu mencurahkan seluruh tenaganya untuk menyunting naskah Jawa kuno serta menyalinku ke huruf latin.

Namun bahkan dalam huruf latin, aku tetap kabur bagi bangsaku. Hanya segelintir orang terpelajar masih bisa menerobos wangsalanku, istilah-istilah ajaran kebatinanku yang terasing dari bahasa Sansekerta dan Arab, lagak gayaku yang purba dan tajam. Ya, aku maha karya yang terancam sirna sebab bahasa yang dipakai untuk menyusunku, bahasa Jawa, sedang bunuh diri. Bahasa ini padahal sejak abad kesembilan telah menghasilkan ribuan syair, karya-karya rohani, filsafat dan sejarah dimana aku, Centhini, merupakan semacam puncak.

Jadi aku kini berkeliaran di tengah-tengah seratus dua puluh juta sosok tersesat karena percepatan sejarah, layaknya hantu yang mengagumkan, dikagumi namun tanpa suara.

Namun jangan putus asa terhadap manusia. Bukankah keberadaanku ini berkat ketajamannya? Bukankah susunanku ini berkat seorang Pangeran yang gandrung kebebasan? Bukankah yayasanku ini berkat seorang penyelundup candu yang telah diampuni Sejarah? Dan bukankah versi Prancisku ini berkat campur tangan sekuntum kembang?

Memang, dikisahkan bahwa menjelang abad XXI, seorang terpelajar, yang saat itu menjadi Duta Besar Prancis di Indonesia, berupaya mencari satu kembang sakti asli Jawa. Suatu hari, ketika makan siang di kediamannya, salah seorang tamunya, Elizabeth D. Inandiak, bercerita tentang Wijayakusuma, bunga yang hanya mekar di tengah malam, menebarkan wangi ilahi, lalu layu sebelum subuh. Kembang ini, demikian kata sang tamu, tampil dalam tembang terakhir Serat Centhini, tembang ke 722, ketika Amongraga dan istrinya yang sudah berubah menjadi cacing, dibakar oleh Sultan Agung, diletakkan dalam kelopak Wijayakusuma sebelum ia makan. Terpesona oleh kisah Serat Centhini, orang terpelajar tadi segera menugasi tamunya menerjemahkan serta menyusun kembali Suluk Adiluhung Jawa itu ke dalam bahasa Prancis.

Mulailah Inandiak bekerja. Tidak sebagai pakar bahasa Jawa -ia memang tidak punya keahlian itu- tetapi sebagai seorang petualang dan pecinta Jawa. Ia tidak langsung tenggelam dalam 4000 halaman Serat Centhini yang asli. Ia pergi keliling Pulau Jawa selama beberapa minggu untuk bertemu dengan para sastrawan, dalang, kyai, juru kunci, seniman dan petani untuk mengumpulkan pandangan mereka terhadap Serat Centhini di awal abad dua puluh satu.
Inandiak bertemu dengan Onghokham, sejarawan yang menunjukkan tali persaudaraan yang tak terduga dengan menyatakan dalam bahasa Perancis: “Centhini, c’est Rabelais ! ” (Centhini adalah Rabelais !). Lahir tahun 1494, rahib ordo Fransiskan yang kemudian pindah menjadi Benediktian dan lalu menanggalkan ikrar kerahibannya untuk menjadi penyair gelandangan dan dokter, Rabelais adalah penulis yang paling memperkaya bahasa Perancis dengan penemuan tata bahasa dan kosakata yang menggugah. Demikian pula Serat Centhini adalah karya sastra Jawa yang memperlihatkan kosakata yang paling kaya. Buku-buku Rabelais tidak mengenal batasan antara dunia awam dan dunia keramat, antara yang ilmiah dan rakyat, yang halus dan kasar. Kentut pun dijadikan sesuatu yang bersifat pembebasan, sama dengan Semar, dan memang, pada suatu kesempatan Inandiak meminjam kentut itu dari keduanya demi mengabdi pada Centhini.

Penyair Suryanto Sastro Atmodjo bercerita bagaimana kakeknya, Kanjeng Panembahan Adipati Puger IV, bekas bupati Lumajang, mempunyai buku besar Centhini, dan bagi beliau setiap makan malam adalah satu malam pergelaran, karena "Allah memberi manusia irama dan keindahan ”. Eyangnya mengundang tiga pemain musik untuk memainkan celempung, gambang dan semacam gambus yang dawainya dibuat dari kawat lokomotif uap kuno dari tahun 1870, dan beliau menyuruh mereka menembangkan beberapa pupuh dari Centhini.

Inandiak juga bertemu Gus Dur yang menyatakan bahwa Serat Centhini bukan milik khusus orang Jawa, tetapi juga dikenal di Madura, di pesantren-pesantren, terutama di Sumenep. Di sana ada satu variasi Centhini yang ditulis dalam bahasa Jawa tetapi dengan huruf Arab dan berjudul : “Pamongrogo dan Pamongroso”. Kata Gus Dur, setahun sekali, radio setempat menyiarkan pembacaan « Pamongrogo dan Pamongroso » semalam suntuk.

Pengembaraan Centhini membawa Inandiak sampai ke Paris, ke sebuah disertasi filsafat, yang dipertahankan pada tahun 1956 di Universitas Sorbonne, oleh Dr. Mohammed Rasjidi. Beliau pernah menjadi menteri agama di bawah pemerintah Sukarno dan juga pernah kuliah di Kairo, di Universitas Al-Azar, di fakultas theologi. Disertasinya dalam bahasa Perancis berjudul : “Considérations critiques du Livre de Centhini” (Pertimbangan kritis tentang Centhini) dan awali dengan kata-kata berikut :
"Ilmu yang kita lihat berkembang di Jawa adalah ilmu kesempurnaan yang juga dikenal sebagai ilmu kebahagiaan dan yang dicari para ilmuwan dan sastrawan, baik yang tekun beribadah maupun yang menjauhinya. Orang yang saleh lebih suka tidak berbicara sama sekali tentang ilmu itu dan hanya menyebutnya dengan waspada, karena sering yang berhubungan dengan ilmu itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Adapun saya, saya ingin mengetahui... ”

Sebagai orang Islam yang sangat taat, Rasjidi menambahkan bahwa para penulis Serat Centhini tidak menguasai bahasa Arab, oleh karena itu beberapa kalimat dan ajaran dalam bahasa Arab yang ditemukan di karya itu tidak masuk akal.

Rencana semula adalah untuk mulai dengan terjemahan Serat Centhini secara harafiah dari bahasa Jawa ke Indonesia, lalu dari bahasa Indonesia ke Perancis. Tetapi Inandiak terbentur kesulitan yang cukup aneh: bagi beberapa ahli Jawa, Serat Centhini adalah suatu karya yang terlalu suci untuk diterjemahkan, sedang bagi ahli-ahli yang lain, Serat Centhini terlalu kotor. Demikianlah, rupanya kerokhanian yang terlalu tinggi dan seks yang terlalu kasar telah menghalangi penerjemahan sesuatu karya yang patut dihormati.

Sesudah beberapa kali salah langkah, Inandiak akhirnya bertemu orang yang mampu dan bersemangat untuk menerjemahkan Serat Centhini dari bahasa Jawa ke Indonesia: Ibu Sunaryati Sutanto, bekas murid Dr. Zoetmulder. Suluk raksasa Jawa ini tidak suci, tidak pula kotor bagi sastrawati itu dan merupakan buku yang memuat semua yang nyata dan rekaan dalam kehidupannya.
Perlengkapan dasar untuk pekerjaan adalah :
  1. Ringkasan Centini (Suluk Tambanglaras) yang ditulis dalam bahasa Jawa oleh Sumahatmaka pada tahun 1931, lalu diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan pada 1981 oleh Balai Pustaka.
  2. Dua belas jilid Serat Centhini yang dilatinkan oleh almarhum H. Karkono Kamajaya dan diterbitkan pada 1992 di Yogyakarta oleh Yayasan Centhini.
  3. Empat jilid pertama Centhini-Tambangraras-Amongraga yang disadur dalam bahasa Indonesia oleh Tim Penyadur dengan Darusuprapta sebagai Koordinator/Penyunting dan diterbitkan tahun 1991 oleh Balai Pustaka. (Jilid lima sampai dua belas baru selasai diterjemahkan pada bulan Mei 2008 oleh Prof. Marsono sebagai coordinator dan penyunting dan diterbitkan oleh Gadjah Mada University Press)
Mulai dari ringkasan Sumahatmaka yang luar biasa tegas, Inandiak memilih tembang-tembang yang akan diterjemahkan secara harafiah, dengan menyingkirkan semua tembang yang bersifat ensiklopedik semata, karena terlalu menjemukan buat pembaca yang tidak memahami kebudayaan Jawa, juga beberapa pupuh yang terlalu berbelit-belit, penuh pengulangan atau, menurut kami, bersifat anekdot. Demikianlah, dari 4000 halaman buku, Ibu Sunaryati Sutanto dan Inandiak menerjemahkan sekitar seribu halaman ke dalam bahasa Indonesia lalu Perancis.

Namun, Serat Centhini ditulis terutama untuk ditembangkan. Dalam sastra Jawa kuno, suara turun pada penyair bagai suatu wahyu yang datang lebih dulu, baru kemudian datanglah irama dan nada menemani si pujangga memasuki kata-kata satu per satu. Penyesuaian antara irama, macapat dan gema kata-kata itulah yang melahirkan makna tembang dan keindahannya. Kalau wahana musiknya dihilangkan, tulisan hanya merupakan kata-kata yang kacau maknanya, meragukan dan keindahannya terkhianati. Di samping itu, di dalam syair-syai kasar, kekotoran kata dihalau terbang oleh keanggunan tembangnya. Justru persekutuan antara lumpur dan emas itulah yang menciptakan watak dan sosok yang luar biasa serta khas Serat Centhini. Kalau tembang dihilangkan, para pembaca akan tercebur di dalam lubang comberan kata-kata dan amblas ke dalam lumpur untuk selamanya.


Setelah empat tahun kerja, seribu halaman yang telah diterjemahkan dengan susah payah ke dalam bahasa Perancis barulah merupakan rawa luas, yang dari dalamnya sekarang harta-karun harus diambil untuk diuntai kembali dalam kisah yang mempesona. Untuk itu, Inandiak mendengarkan selama berjam-jam syair-syair Centhini yang ditembangkan oleh teman, agar raga dan bahasa saya digurat-gurat dan ditandai olehnya. Lalu, pada suatu hari, muncul kenyataan yang jelas sekali dan sangat sederhana : Serat Centhini, kehidupan Inandiak, dan kehidupan semua penyair Jawa sejak berabad-abad, menyatu. Semua yang pernah Inandiak alami di Jawa dan di tempat lain di bumi, ada dalam karya yang janggal, ajaib, dan raksasa itu, yang kelihatannya begitu cerai-berai, namun intinya begitu sempurna. Ia seakan ingin mencebur ke sungai yang luas, membiarkan diri ditelan oleh tembang-tembang dan lenyap dalam banjir cahaya roh para penyair yang telah wafat, terikat dengan silsilah mereka secara penuh rahasia.

Dari 722 pupuh asli Serat Centhini, hanya 16 pupuh pertama yang berupa tembang perang. Perang itu dipimpin oleh Endrasena, seorang pemuda Cina yang masuk Islam, anak angkat Sunan Giri. Ia ditembak mati di medan pertempuran, dan inilah yang menandai awal pengembaraan batin Amongraga, kakak tiri Endrasena, asli Jawa, putera mahkota Giri, yang menentang perang. Amongraga pergi mencari damai yang luas menghijau, yaitu lenyap dalam Allah atau moksa.


Amongraga dijatuhi hukuman mati oleh para ulama Sultan Agung, karena bid’ah, seperti seorang sufi yang terkenal dari Bagdad, Hallaj, atau Siti Jenar di Jawa. Tetapi Amongraga akan lahir kembali di dalam “ dunia terbalik ” dan meneruskan pengembaraan yang tidak dapat dilawan.

Dalam diri dua kakak-adik yang berlawanan, bisa kita melihat terlaksananya takdir yang tunggal dan sama, yang mencerminkan hadis Nabi Muhammad SAW sepulang dari suatu pertempuran : “ Kita baru pulang dari jihad kecil, sekarang mulailah jihad besar kita. ” Jihad besar adalah perang melawan semua nafsu dan ego, begitu banyak roh jahat di dalam batin kita sendiri yang menyerbu kita tak henti-hentinya. Jika demikian, barangkali pengembaraan luar biasa Serat Centhini adalah untuk menyingkap dengan perlahan-lahan cadar jihad besar itu, yang pertempurannya yang paling berbahaya adalah menempuh asmara antara kekasih dan terkasih dalam sanggama.

Selama menyusun kembali tembang-tembang itu ke dalam bahasa Perancis, satu pertanyaan menghantui Inandiak : kenapa karya sastra Jawa yang terbesar ini diberi julukan nama seorang pembantu, Centhini ? Seolah-olah kalbu syair Jawa agung itu adalah aku, si pelayan yang penuh pengabdian, karena aku ternyata merupakan satu-satunya yang cukup rendah hati sehingga berhasil dalam pencarian tertinggi yang dikejar Amongraga. Aku, Centhini, begitu melupakan diriku sendiri dan begitu mengabdi kepada para majikanku sehingga aku akhirnya memudar, padu lebur dan larut, lenyap dari syair, pulang ke zatku yang sejati, ilahi.