Jumat, 08 Agustus 2008

PENGAKUAN CENTHINI




















Aku adalah kenangan bersama seratus dua puluh juta manusia Jawa, pengembaraan edan luar batas, dua belas jilid, empat ribu dua ratus halaman, tujuh ratus dua puluh dua tembang, dua ratus ribu bait lebih, begitu kata pembacaku langka.

Sebenarnya aku tiada lagi. Maksudku aku, si naskah asli, maha karya sastra Jawa. Aku kan sekarat di ranjang raja, digerogoti jamur pancaroba? Aku kan sudah terbakar saat api berkali-kali melalap Kraton? Aku kan telah diabaikan menyusul kematian junjunganku, Pangeran Anom Hamengkunegara III, yang digondol raja singa di tahun ketiga pemerintahannya, sebagai Susuhunan Paku Buwono kelima? Kan orang takut ketularan buku itu? Lalu mengapa, setelah hampir empat puluh tahun dimulainya penyusunanku, yaitu di 1850, Susuhunan ketujuh Surakarta menghadiahi Ratu Belanda naskah maha karya itu, apa adanya, dari jilid lima hingga sembilan? Padahal justru jilid sembilanlah yang paling nakal dan konon disusun oleh sang Pangeran sendiri? Aku tiada lagi, tapi untungnya orang menyalinku bisa bicara mewakiliku.

Oh, lupa aku memperkenalkan diri. Suluk Tambangraras namaku. Dalam pewayangan, Suluk adalah "suara meninggi". Itu juga merupakan istilah yang dipakai untuk mengacu pada semua sastra gaib Jawa kurun Islam. Adapun Tambangraras, ia istri si tokoh utama. Namun orang lebih umum menyebutku Serat Centhini. Centhini adalah nama abdi Tambangraras. Aku tidak keberatan tentang itu, walau memang agak menghina bagi karya mega disebut dengan nama seorang pembantu. Aku lebih memandangnya sebagai suatu keakraban, kedekatan yang menyentuh antara para pembacaku denganku, atau sebagai suatu upaya kaleng dan makar yang dengan sengaja mengangkat wong cilik menjadi tokoh tersohor.

Tapi siapakah sebenarnya yang menyusunku? Syair-syair yang bisa kusebutkan dengan pasti pengarangnya adalah syair-syair sang Pangeran sendiri. Tembang-tembang itu dapat dikenali dari guratan-guratan syahwat dalam gaya seperti ini:
Dan begitulah mereka duduk, satu dan lainnya, dengan si lelaki dalam kedudukan sedikit miring di antara kedua kakinya. Mereka memamah sirih sepenuhnya sambil goyang bersetubuh, menutup mata menyelaraskan diri dengan turunnya lingga buta ke jurang liang sanggama.



Aku terkenang lagi Anom Amangkunegara III, remaja yang disingkirkan dari keraton karena bundanya mati muda, menantang ayahnya, sang Susuhunan yang memarahinya karena kebandelannya:
"Akan Ananda buktikan, Ayah, demikian jawab sang Pangeran, bahwa hidupku yang kelewatan ini akan membawaku suatu hari nanti pada Ilmu Kasampurnan. Kita harus mengenali kebatilan di gerbang jalan kebatinan." Ia lalu memanggil ketiga pujangga kraton, membekalinya sepuluh ribu ringgit emas serta memerintahkan mereka menyusunku, aku, Serat Centhini.











Tahun 1814, di Jawa Tengah, di Kraton Surakarta. Pada saat sama, enam puluh kilometer dari sana ke arah barat, di kraton saingannya, Ngayogyakarta Hadiningrat, mendidih pemberontakan yang meledak sepuluh tahun kemudian di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Di 1822, Gunung Merapi meletus hebat, pertanda sial. Jadi aku lahir di jaman huru-hara manusia dan alamnya.
Di Kraton Surabaya, Pangeran Anom Hamengkunegara tak tahan tekanan penjajah beserta upacara-upacara yang sudah membatu di kratonnya. Aku menjadi tembang kebebasannya, alam mimpinya yang kejadian dan kejahatannya menjiplak tata cara kraton sehingga para bangsawan menemukan dirinya dalam tembang-tembangku.
Tapi apa yang kutembangkan?
Kutembangkan pengembaraan luar batas, pengembaraan dua putra serta seorang putri belia yang terpaksa lari dari Kerajaan Giri karena diserbu tentara Sultan Agung yang di abad XVII menundukkan hampir seluruh Pulau Jawa. Dalam kekalutan peperangan, si sulung kehilangan kedua adiknya. Selama saling pergi mencari itulah kedua putra dan sang putri mencicipi semua kebijaksanaan dan segala pelanggaran yang tumbuh subur di Tanah Jawa di candi-candi yang terlantar, di puncak foya-foya mewah, di hutan belantara yang dikuasai jin-jin mbalelo, di mulut-mulut gua yang pekat, di dipan-dipan panas pondokan serta di kedalaman terang samudra. Mereka mengajak gabung orang-orang yang mereka temui di jalan di kekacauan pengembaraan mereka sendiri: pedagang keliling, para penembang, penggamel, ledek, banci, sastrawan sufi, pelacur, petapa hindu-buddha, pandai besi, dukun, guru kanuragan, kecu, segala orang bebas, pelarian atau paria yang, di luar kekuasaan, menemun serta mengutak-utik jaringan khayal syahwat dan roh Tanah Jawa. Para tokohnya tidak henti-henti tersesat dan salin menemukan kembali pada nama dan tempat lain, bahkan beda hakiki. Pengembaraan mereka dengan cepat meluber melampaui batas wilayah yang dikenal dan melebur menjadi suatu rasi angan-angan: Dunia Terbalik.

Aku tak pernah lelah berulang-ulang membacaku untuk mengerti kenapa dalam dua abad aku menjadi serat yang tak terbaca! Ya, aku kabur! Hampir layaknya tulisan paku. Kuhitung siapa yang masih mampu menguraiku: hanya beberapa ratusan saja di muka bumi ini.

Untungnya, aku telah dilatinkan. Prakarsa itu berasal dari seorang Jawa keturunan Cina dari Yogyakarta: Haji Karkono Kamajaya. Pada usia melampaui delapan puluh tahun, dengan rambut yang lebih putih ketimbang salju, sambil tertawa ia mengakui bahwa dulu ia merupakan salah seorang penyelundup candu terbesar di Indonesia. Pada hari kemerdekaan, Karkono adalah reporter muda ternama, dekat dengan Bung Karno. Orang Belanda buru-buru meninggalkan Pulau Jawa, membiarkan berton-ton candu di gudang. Untuk membiayai pembangunan Indonesia, Presiden Soekarno minta pada teman-teman petualangannya, antara lain Karkono, untuk menyelundupkan barang-barang itu ke luar negeri. Begitulah berbulan-bulan, Karkono melalukan penyeberangan di malam hari mondar-mandir Jakarta Singapur naik sampan bermotor gelap, penuh muatan madat.

Setelah kekuasaan direbut Soeharto di 1967, Karkono menjauhi dunia kewartawanan dan politik. Ia mendirikan yayasan untukku sendiri, Yayasan Centhini, dan mulai saat itu mencurahkan seluruh tenaganya untuk menyunting naskah Jawa kuno serta menyalinku ke huruf latin.

Namun bahkan dalam huruf latin, aku tetap kabur bagi bangsaku. Hanya segelintir orang terpelajar masih bisa menerobos wangsalanku, istilah-istilah ajaran kebatinanku yang terasing dari bahasa Sansekerta dan Arab, lagak gayaku yang purba dan tajam. Ya, aku maha karya yang terancam sirna sebab bahasa yang dipakai untuk menyusunku, bahasa Jawa, sedang bunuh diri. Bahasa ini padahal sejak abad kesembilan telah menghasilkan ribuan syair, karya-karya rohani, filsafat dan sejarah dimana aku, Centhini, merupakan semacam puncak.

Jadi aku kini berkeliaran di tengah-tengah seratus dua puluh juta sosok tersesat karena percepatan sejarah, layaknya hantu yang mengagumkan, dikagumi namun tanpa suara.

Namun jangan putus asa terhadap manusia. Bukankah keberadaanku ini berkat ketajamannya? Bukankah susunanku ini berkat seorang Pangeran yang gandrung kebebasan? Bukankah yayasanku ini berkat seorang penyelundup candu yang telah diampuni Sejarah? Dan bukankah versi Prancisku ini berkat campur tangan sekuntum kembang?

Memang, dikisahkan bahwa menjelang abad XXI, seorang terpelajar, yang saat itu menjadi Duta Besar Prancis di Indonesia, berupaya mencari satu kembang sakti asli Jawa. Suatu hari, ketika makan siang di kediamannya, salah seorang tamunya, Elizabeth D. Inandiak, bercerita tentang Wijayakusuma, bunga yang hanya mekar di tengah malam, menebarkan wangi ilahi, lalu layu sebelum subuh. Kembang ini, demikian kata sang tamu, tampil dalam tembang terakhir Serat Centhini, tembang ke 722, ketika Amongraga dan istrinya yang sudah berubah menjadi cacing, dibakar oleh Sultan Agung, diletakkan dalam kelopak Wijayakusuma sebelum ia makan. Terpesona oleh kisah Serat Centhini, orang terpelajar tadi segera menugasi tamunya menerjemahkan serta menyusun kembali Suluk Adiluhung Jawa itu ke dalam bahasa Prancis.

Mulailah Inandiak bekerja. Tidak sebagai pakar bahasa Jawa -ia memang tidak punya keahlian itu- tetapi sebagai seorang petualang dan pecinta Jawa. Ia tidak langsung tenggelam dalam 4000 halaman Serat Centhini yang asli. Ia pergi keliling Pulau Jawa selama beberapa minggu untuk bertemu dengan para sastrawan, dalang, kyai, juru kunci, seniman dan petani untuk mengumpulkan pandangan mereka terhadap Serat Centhini di awal abad dua puluh satu.
Inandiak bertemu dengan Onghokham, sejarawan yang menunjukkan tali persaudaraan yang tak terduga dengan menyatakan dalam bahasa Perancis: “Centhini, c’est Rabelais ! ” (Centhini adalah Rabelais !). Lahir tahun 1494, rahib ordo Fransiskan yang kemudian pindah menjadi Benediktian dan lalu menanggalkan ikrar kerahibannya untuk menjadi penyair gelandangan dan dokter, Rabelais adalah penulis yang paling memperkaya bahasa Perancis dengan penemuan tata bahasa dan kosakata yang menggugah. Demikian pula Serat Centhini adalah karya sastra Jawa yang memperlihatkan kosakata yang paling kaya. Buku-buku Rabelais tidak mengenal batasan antara dunia awam dan dunia keramat, antara yang ilmiah dan rakyat, yang halus dan kasar. Kentut pun dijadikan sesuatu yang bersifat pembebasan, sama dengan Semar, dan memang, pada suatu kesempatan Inandiak meminjam kentut itu dari keduanya demi mengabdi pada Centhini.

Penyair Suryanto Sastro Atmodjo bercerita bagaimana kakeknya, Kanjeng Panembahan Adipati Puger IV, bekas bupati Lumajang, mempunyai buku besar Centhini, dan bagi beliau setiap makan malam adalah satu malam pergelaran, karena "Allah memberi manusia irama dan keindahan ”. Eyangnya mengundang tiga pemain musik untuk memainkan celempung, gambang dan semacam gambus yang dawainya dibuat dari kawat lokomotif uap kuno dari tahun 1870, dan beliau menyuruh mereka menembangkan beberapa pupuh dari Centhini.

Inandiak juga bertemu Gus Dur yang menyatakan bahwa Serat Centhini bukan milik khusus orang Jawa, tetapi juga dikenal di Madura, di pesantren-pesantren, terutama di Sumenep. Di sana ada satu variasi Centhini yang ditulis dalam bahasa Jawa tetapi dengan huruf Arab dan berjudul : “Pamongrogo dan Pamongroso”. Kata Gus Dur, setahun sekali, radio setempat menyiarkan pembacaan « Pamongrogo dan Pamongroso » semalam suntuk.

Pengembaraan Centhini membawa Inandiak sampai ke Paris, ke sebuah disertasi filsafat, yang dipertahankan pada tahun 1956 di Universitas Sorbonne, oleh Dr. Mohammed Rasjidi. Beliau pernah menjadi menteri agama di bawah pemerintah Sukarno dan juga pernah kuliah di Kairo, di Universitas Al-Azar, di fakultas theologi. Disertasinya dalam bahasa Perancis berjudul : “Considérations critiques du Livre de Centhini” (Pertimbangan kritis tentang Centhini) dan awali dengan kata-kata berikut :
"Ilmu yang kita lihat berkembang di Jawa adalah ilmu kesempurnaan yang juga dikenal sebagai ilmu kebahagiaan dan yang dicari para ilmuwan dan sastrawan, baik yang tekun beribadah maupun yang menjauhinya. Orang yang saleh lebih suka tidak berbicara sama sekali tentang ilmu itu dan hanya menyebutnya dengan waspada, karena sering yang berhubungan dengan ilmu itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Adapun saya, saya ingin mengetahui... ”

Sebagai orang Islam yang sangat taat, Rasjidi menambahkan bahwa para penulis Serat Centhini tidak menguasai bahasa Arab, oleh karena itu beberapa kalimat dan ajaran dalam bahasa Arab yang ditemukan di karya itu tidak masuk akal.

Rencana semula adalah untuk mulai dengan terjemahan Serat Centhini secara harafiah dari bahasa Jawa ke Indonesia, lalu dari bahasa Indonesia ke Perancis. Tetapi Inandiak terbentur kesulitan yang cukup aneh: bagi beberapa ahli Jawa, Serat Centhini adalah suatu karya yang terlalu suci untuk diterjemahkan, sedang bagi ahli-ahli yang lain, Serat Centhini terlalu kotor. Demikianlah, rupanya kerokhanian yang terlalu tinggi dan seks yang terlalu kasar telah menghalangi penerjemahan sesuatu karya yang patut dihormati.

Sesudah beberapa kali salah langkah, Inandiak akhirnya bertemu orang yang mampu dan bersemangat untuk menerjemahkan Serat Centhini dari bahasa Jawa ke Indonesia: Ibu Sunaryati Sutanto, bekas murid Dr. Zoetmulder. Suluk raksasa Jawa ini tidak suci, tidak pula kotor bagi sastrawati itu dan merupakan buku yang memuat semua yang nyata dan rekaan dalam kehidupannya.
Perlengkapan dasar untuk pekerjaan adalah :
  1. Ringkasan Centini (Suluk Tambanglaras) yang ditulis dalam bahasa Jawa oleh Sumahatmaka pada tahun 1931, lalu diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan pada 1981 oleh Balai Pustaka.
  2. Dua belas jilid Serat Centhini yang dilatinkan oleh almarhum H. Karkono Kamajaya dan diterbitkan pada 1992 di Yogyakarta oleh Yayasan Centhini.
  3. Empat jilid pertama Centhini-Tambangraras-Amongraga yang disadur dalam bahasa Indonesia oleh Tim Penyadur dengan Darusuprapta sebagai Koordinator/Penyunting dan diterbitkan tahun 1991 oleh Balai Pustaka. (Jilid lima sampai dua belas baru selasai diterjemahkan pada bulan Mei 2008 oleh Prof. Marsono sebagai coordinator dan penyunting dan diterbitkan oleh Gadjah Mada University Press)
Mulai dari ringkasan Sumahatmaka yang luar biasa tegas, Inandiak memilih tembang-tembang yang akan diterjemahkan secara harafiah, dengan menyingkirkan semua tembang yang bersifat ensiklopedik semata, karena terlalu menjemukan buat pembaca yang tidak memahami kebudayaan Jawa, juga beberapa pupuh yang terlalu berbelit-belit, penuh pengulangan atau, menurut kami, bersifat anekdot. Demikianlah, dari 4000 halaman buku, Ibu Sunaryati Sutanto dan Inandiak menerjemahkan sekitar seribu halaman ke dalam bahasa Indonesia lalu Perancis.

Namun, Serat Centhini ditulis terutama untuk ditembangkan. Dalam sastra Jawa kuno, suara turun pada penyair bagai suatu wahyu yang datang lebih dulu, baru kemudian datanglah irama dan nada menemani si pujangga memasuki kata-kata satu per satu. Penyesuaian antara irama, macapat dan gema kata-kata itulah yang melahirkan makna tembang dan keindahannya. Kalau wahana musiknya dihilangkan, tulisan hanya merupakan kata-kata yang kacau maknanya, meragukan dan keindahannya terkhianati. Di samping itu, di dalam syair-syai kasar, kekotoran kata dihalau terbang oleh keanggunan tembangnya. Justru persekutuan antara lumpur dan emas itulah yang menciptakan watak dan sosok yang luar biasa serta khas Serat Centhini. Kalau tembang dihilangkan, para pembaca akan tercebur di dalam lubang comberan kata-kata dan amblas ke dalam lumpur untuk selamanya.


Setelah empat tahun kerja, seribu halaman yang telah diterjemahkan dengan susah payah ke dalam bahasa Perancis barulah merupakan rawa luas, yang dari dalamnya sekarang harta-karun harus diambil untuk diuntai kembali dalam kisah yang mempesona. Untuk itu, Inandiak mendengarkan selama berjam-jam syair-syair Centhini yang ditembangkan oleh teman, agar raga dan bahasa saya digurat-gurat dan ditandai olehnya. Lalu, pada suatu hari, muncul kenyataan yang jelas sekali dan sangat sederhana : Serat Centhini, kehidupan Inandiak, dan kehidupan semua penyair Jawa sejak berabad-abad, menyatu. Semua yang pernah Inandiak alami di Jawa dan di tempat lain di bumi, ada dalam karya yang janggal, ajaib, dan raksasa itu, yang kelihatannya begitu cerai-berai, namun intinya begitu sempurna. Ia seakan ingin mencebur ke sungai yang luas, membiarkan diri ditelan oleh tembang-tembang dan lenyap dalam banjir cahaya roh para penyair yang telah wafat, terikat dengan silsilah mereka secara penuh rahasia.

Dari 722 pupuh asli Serat Centhini, hanya 16 pupuh pertama yang berupa tembang perang. Perang itu dipimpin oleh Endrasena, seorang pemuda Cina yang masuk Islam, anak angkat Sunan Giri. Ia ditembak mati di medan pertempuran, dan inilah yang menandai awal pengembaraan batin Amongraga, kakak tiri Endrasena, asli Jawa, putera mahkota Giri, yang menentang perang. Amongraga pergi mencari damai yang luas menghijau, yaitu lenyap dalam Allah atau moksa.


Amongraga dijatuhi hukuman mati oleh para ulama Sultan Agung, karena bid’ah, seperti seorang sufi yang terkenal dari Bagdad, Hallaj, atau Siti Jenar di Jawa. Tetapi Amongraga akan lahir kembali di dalam “ dunia terbalik ” dan meneruskan pengembaraan yang tidak dapat dilawan.

Dalam diri dua kakak-adik yang berlawanan, bisa kita melihat terlaksananya takdir yang tunggal dan sama, yang mencerminkan hadis Nabi Muhammad SAW sepulang dari suatu pertempuran : “ Kita baru pulang dari jihad kecil, sekarang mulailah jihad besar kita. ” Jihad besar adalah perang melawan semua nafsu dan ego, begitu banyak roh jahat di dalam batin kita sendiri yang menyerbu kita tak henti-hentinya. Jika demikian, barangkali pengembaraan luar biasa Serat Centhini adalah untuk menyingkap dengan perlahan-lahan cadar jihad besar itu, yang pertempurannya yang paling berbahaya adalah menempuh asmara antara kekasih dan terkasih dalam sanggama.

Selama menyusun kembali tembang-tembang itu ke dalam bahasa Perancis, satu pertanyaan menghantui Inandiak : kenapa karya sastra Jawa yang terbesar ini diberi julukan nama seorang pembantu, Centhini ? Seolah-olah kalbu syair Jawa agung itu adalah aku, si pelayan yang penuh pengabdian, karena aku ternyata merupakan satu-satunya yang cukup rendah hati sehingga berhasil dalam pencarian tertinggi yang dikejar Amongraga. Aku, Centhini, begitu melupakan diriku sendiri dan begitu mengabdi kepada para majikanku sehingga aku akhirnya memudar, padu lebur dan larut, lenyap dari syair, pulang ke zatku yang sejati, ilahi.

Kamis, 17 Juli 2008

Tokoh-tokoh dalam kisah Centhini (Centhini)

Centhini
Si abdi Tambangraras


Di balik sekat berkerawang, Centhini menangkap desah Amongraga dan engah Tambangraras, bulir-bulir peluh di tubuh mereka yang membara dan memenuhi kamar, tempias gerimis. Centhini berjaga, sebab ia ditugasi untuk mengabarkan koyaknya selaput dara agar segera disiapkan jamu godogan kembang curian.

(tembang 71)

Centhini tak meninggalkan selangkah pun tuannya, ia berjalan di sisinya sambil keras-keras menyanyikan lagu-lagu jorok untuk memberi penampilan ugal-ugalan. Dan ketika Tambangraras melepas ikat kepalanya dalam gerakan gasang, memperlihatkan rambut wanitanya, Centhini segera mengaitkannya kembali sambil mengomeli tuannya dengan suara kasar:

"Sadar diri, Tuan Putra! Ketahuilah bahwa di dunia terbalik ini pria adalah wanita dan wanita adalah pria! Berjalanlah dengan gaya jantan, kunyahlah tembakau apak dan rabalah di sana-sini buah zakarmu agar kelihatan sungguh-sungguhan!"

Centhini mengata-ngatai tuan putrinya demi lebih melindunginya, sebab dua perempuan tidak mungkin bisa berkelana sendiri lebih dari satu hari di dunia duniawi ini tanpa dipusingkan pezina yang panjang kontolnya dan pendek pandangannya.

(tembang 139)


Dalam riang pertemuan, Montel si pelayan, menikahi Centhini si abdi. Tetapi di malam pengantin, Centhini sirna. Ketiga pujangga sendiri juga heran tak menemukannya lagi di tembang mereka. Konon untuk menghormati sirnanyalah masyarakat Jawa memberi Suluk adihulung nama si abdi: Centhini.

(Tembang 144)

Tokoh-tokoh dalam kisah Centhini (Sunan Giri)

Sunan Giri

Tahun-tahun berlalu di dunia ini dan di dunia sana. Di istana yang ia dirikan di atas gunung, Sunan Giri bertambah umur, bertambah masyhur. Semua ulama dari Jawa, Sunda, negeri Bugis hingga pulau-pulau yang jauh seperti Ambon dan Ternate, datang sujud di kakinya. Sunan Giri menerima penghormatan ini dan menunjuk para pengganti mereka. Orang menyebutnya sebagai Khalifatullah dan daerah kekuasaannya sebagai Negeri Islam Jawa.

Tapi telah ditakdirkan bahwa perang merupakan ujian seumur hidup. Dan agar tidak menyimpang dari suratan kayangan itu, Raja Brawijaya dari kerajaan Siwa-Budha Majapahit menitahkan patihnya, Gajah Mada, untuk menundukkan Kekhalifahan Jawa.

Serangan dilancarkan ketika Sunan Giri sedang sibuk menyalin ayat-ayat Quran menggunakan kuas. Mendengar jeritan rakyatnya yang berbondong-bondong ketakukan naik mengungsi ke istana, sang Sunan melemparkan jauh-jauh kuasnya, memohon perlindungan Allah.

Dan kuas itu berubah menjadi keris yang menyinarkan kemurkaan Ilahi, matanya yang berkeluk bernyalakan api neraka. Banyak penyerang mati seketika, tergorok, hangus, sedangkan sisanya melarikan diri pulang ke Majapahit. Ketika semua pasukan musuh telah dihancurkan, keris itu kembali menjadi kuas di tangan Sunan Giri. Bulunya bersimbah darah.

Tidak lama kemudian, Sunan Giri pulang ke rahmatullah. Sulung dari kesepuluh putranya menggantikannya dan wafat serta merta. Cucunya, Sunan Giri Prapen, meneruskan tugasnya yang agung. Mendengar orang yang telah mengalahkannya hanya dengan sebatang kuas telah mati, Raja Majapahit melancarkan serangan terakhirnya ke khalifah Jawa. Di serbuan pertama, Giri dijarah dan dihancurkan menjadi abu.

Sunan Giri muda melarikan diri ke arah laut saat prajurit Majapahit naik ke puncak bukit menodai makam leluhurnya yang tersohor. Mereka memerintahkan juru kuncinya, dua orang lumpuh, menggali kembali kuburan itu.

Saat kedua orang cacat itu mengangkat nisan, ribuan kumbang terbang menyerang, meluru para prajurit hingga Majapahit dan membentuk tudung malam tebal di langit, merampas matahari dari kerajaan ini selamanya.

Juru kunci makam raja secara gaib sembuh dari lumpuh serta merta menghambur ke laut menyampaikan kabar terpukulnya Majapahit kepada junjungannya. Sunan Giri kembali ke kerajaan abunya di saat Majapahit runtuh, kehabisan nafas karena lebah-lebah ajaib dan pembelotan putra rajanya sendiri yang kini masuk ke jalan Allah.

Musnah sudah kerajaan hebat yang telah membuat Tanah Jawa menjadi surya Siwa-Budha, yang keemasannya menyinari seluruh Nusantara hingga Siam dan Campa.

Namun, di suatu malam gadang, saat Sunan Giri ziarah di kalbunya bersama Asma’ul Husnâ, cemlorot kebiruan jatuh ke arah beringin barat halaman keputren, menyampaikan kepadanya bahwa kelak akan datang gilirannya ditundukkan oleh seorang raja agung yang lahir di Jawa Tengah, di kerajaan pertanian Mataram, bahwa putra-putranya akan terberai mengembara, saling mencari satu dan lainnya dan mengejar rahasia dirinya sendiri, dan bahwa pengembaraan ini suatu hari nanti akan ditembangkan Suluk terbesar Tanah Jawa.

(Tembang 5)

Tokoh-tokoh dalam cerita Centhini (Sultan Agung)

Sultan Agung

Ki Tumenggung Wiraguna dan pengawalnya kembali senja ke keraton Mataram. Bronjong kosong mereka bawa sebagai bukti keajaiban yang telah terjadi. Di waktu Sultan Agung bersidang, semua dipersilahkan menghadap. Para prajurit dan ulama membuka jalan menembus tiga lingkaran abdi dalem yang jongkok di debu, telanjang dada, kuncir terurai di punggung, mata menatap tanah.

Sultan Agung didampingi di kirinya oleh empat badut cebol, di kanannya empat puluh gadis berlutut, bersenjata tombak yang memancarkan lidah api di atas pundak telanjang mereka. Sultan Agung mengenakan di jemari kedua tangannya serangkaian batu mulia dan intan paling gemerlap.

Ia mendengarkan Wiraguna menuturkan lengkap kisah tugasnya hingga lenyapnya wadak Amongraga di dalam bronjong diceburkan ke samudra. Kemudian, tiga kali menyedot cangklong peraknya, Sultan Agung tersenyum dan berkata:

"Ketahuilah jika aku, aku tidak akan menghukumnya. Kalian semua, ulama dan prajurit dan kamu, Ki Tumanggung Wiraguna, dikirim untuk menghadapi uji coba Keindahan, tapi kalian tak mengenalinya. Kini, enyahlah, semoga kebutaan kalian sirna selamanya dari pandanganku! Hukuman hanya milik Allah!"

(Tembang 133)


Dikatakan bahwa setiap malam jumat, setelah sepanjang hari menerima keluhan rakyatnya di Pengalaran, Sultan Agung pura-pura undur diri ke kediamannya untuk rebahan di samping ratunya, di bawah penjagaan sembilan merak bermata bertaburan bintang. Namun, begitu selesai salat magrib, Yang Mulia mengenakan kain putih layaknya petapa dan menyelinap dari keraton seolah pencuri kuda, jalan berkaki telanjang menuju padepokannya di puncak Gunung Telamaya.

Di atas sana, di balik penyamarannya, ia menyebarkan ajaran tentang ngelmu dan agama. Tak seorang pun di antara banyak tentara, patih dan adipati yang naik minta nasihat kepadanya menduga bahwa orang bijaksana yang berpakaian usang dan memberikan usul itu adalah raja mereka. Semua berpikir bahwa dia adalah seorang petapa tulen yang menyandang gelar Sang Aji Nyakrakusuma.

Demikianlah penduduk desa-desa sekitarnya menyebutnya, sebab orang-orang datang dari jauh untuk menemuinya dan meminta nasihatnya tentang berbagai hal. Beberapa di antara mereka minta agar anaknya pintar, mendapat kedudukan terhormat, uang berlimpah atau obat ajaib. Lainnya minta ilmu keinginan murni, kasunyatan sempurna dan kepahlawanan.

Sang petapa menanggapi semua permintaan itu kecuali yang menimbulkan kejahatan. Ketika dua orang saling membenci, ia berupaya merukunkan keduanya dan meluluhkan perbedaan mereka dalam kesatuan Ilahi. Semua tamunya ingin mengikatkan diri pada harta benda dan rohani, tak seorang pun minta agar bisa lepas dari dirinya sendiri.

(Tembang 148)

Tokoh-tokoh dalam kisah Centhini (Endrasana)

Endrasena
Anak angkat Sunan Giri, orang Cina beragama Islam


Para santri menghentikan sejenak memukul bedug, semua diam dan tunduk ketika satu bayang-bayang gesit mengusutkan keheningan, datang bersila di atas tikar di sebelah Sunan Giri. Ia seorang Cina belia dan tampan, yang karena kepentingan dagangnya, pergi jauh meninggalkan tanah leluhurnya dan diangkat anak oleh Sunan Giri, meskipun beliau sudah mempunyai seorang putra sebaya.

Endrasena namanya, Islam agamanya. Saat melihatnya, hati Pangeran Surabaya tergetar karena merasakan ketegangan para pengawal Endrasena yang berada di belakangnya, di keremangan, yang berkekuatan dua ratus prajurit sebangsanya yang sangat lihai menggunakan pedang serta menguasai jurus pendekar mabuk.
(Tembang 8)

Benturannya seru. Tombak beradu tombak, keris beradu keris, hingga akhirnya pertarungan tanpa senjata dan keputusan Ilahilah yang bicara. Ajian dilantunkan, yang mengguna-guna dan yang diguna-guna baur dalam kekuatan nafas, perang berubah menjadi gumam gaib yang merampas akal para laskar.

Di antara semuanya, Endrasenalah yang paling kerasukan. Ketika melihatnya, Ratu Pandhansari membisiki suaminya: “Orang Cina yang kesetanan perang. Sudah saatnya ia ditumbangkan.”

Begitu Pangeran Pekik mengangguk setuju, Ratu Pandhansari mengokang senapan genggamnya, membidik dan menembak tangan kanan Endrasena yang tersentak terkejut, terlepas pedangnya. Tangan kirinya menggenggam keris dan semakin membabi buta, tapi Ratu Pandhansari menembak untuk kedua kalinya dan kedua tangan pemuda Cina itu pun buntung. Endrasena belum sempat meraung kesakitan ketika Ratu Pandhansari sudah membidikkan lagi senapannya dan menembak kaki kiri lawannya yang segera ambruk.

Melihat pemimpinnya roboh, para pejuang Giri berteriak kocar-kacir, ada yang terguling ke jurang, menghambur masuk gua, loncat ke laut, menghilang di bukit. Dalam sekejap tidak satu prajurit pun tampak lagi, bersih disapu angin.

Endrasena dihujani tombak, ia melontarkan pandangan terakhirnya kepada Ratu Pandhansari yang girang menang:

“Wahai, Ratu, jihad kecil usai sudah. Banjir darah. Tapi di dalam jihad kecil ini kita berdua belum menempuh gurun roh dan jurang raga. Kemenangan belum membawamu sampai ke pengungkapan Ilahi, dan sayang, kejatuhanku tidak akan membukakanku dunia Kegaiban. Sekarang kita harus berangkat ke jihad besar...”

Satu tombak terakhir menembus Endrasena. Dalam pelukan yang hebat, tubuh luluhnya menyatu dengan pertiwi.

(Tembang 10)

Tokoh-tokoh dalam cerita Centhini (Tambangraras)

Tambangraras
Istri Amongraga

Ki Panurta memang mempunyai seorang putri yang tersohor kecantikannya, kemahirannya tentang ilmu-ilmu mujarad serta bakatnya bersyair. Wajahnya laksana rembulan tirta bersinar dari dalam karena kecerdasannya yang sedemikian hidup telah menyulap matanya menjadi dua kejora dan bibirnya bagaikan arit perak di ladang langit hijau. Tangannya tembus cahaya langka, serupa sayap malaikat ketujuh, dan tentang tubuhnya yang selalu terselubung kata orang tiada terhingga.

Ia menjadi buah mulut seluruh negeri dan digandrungi semua bujang. Banyak yang ke Wanamarta melamarnya. Gagal. Gadis itu telah bersumpah hanya akan menikahi pria yang ilmunya mengungguli ilmu ayahnya. Tambangraraslah namanya."

(Tembang 62)


Tambangraras berbaring ke ranjang madunya yang hiasannya di angin dingin masih menghembuskan wangi asmara, ia bergulung di selimut kelamnya dan mimpi. Amongraga masuk ke kamar, bertelanjang dan duduk bijaksana dalam padma merahnya. Lama mereka diam begitu, berpelukan, waspada dan pasrah satu dalam lainnya.

Hujan hangat turun malam itu bagai air mendidih dituang atas daun-daun teh kering yang segera membebaskan harum wangi pegunungan di kerongkongan. Bunyi hujan menarik Tambangraras dari lelapnya, di pekarangan seseorang menumbuk padi. Butir-butir padi berhujanan di lumpang, alu menumbuk mimpi.

Tambangraras duduk di ranjang dan menangis. Isaknya membangunkan Centhini yang lalu ia ceritai mimpinya.

"Mimpi adalah kembang kehidupan ke depan, jadi jangan sedih, Tuan Putri, itu tanda bahwa Amongraga tidak mati. Keringkan air mata Tuan dan cepat berpakaianlah, kita berangkat malam ini mencarinya!"

Centhini menyodorkan seperangkat pakaian lelaki ke Tambangraras, celana panjang kuning berpelipit, sabuk katun tebal, baju hijau berleher tinggi, juga ikat kepala triwarna.

Centhini berpakaian sama: "Mari, kita masuk ke pengembaraan mumpung malam masih dalam!"

Tambangraras cepat berganti pakaian, tak dapat dikenali lagi, seperti pujangga kelana, bebas dan gandrung. Ia menyusun sebuah surat pendek untuk berpamitan kepada orang tuanya: Ayah Ibu tercinta, aku meninggalkan rumah dan masuk ke pengembaraan seperti masuk ke tapa brata, agar semua ajaran almarhum suamiku merasuk ke tubuh dan hatiku di setiap langkahku nan penuh bahaya. Ia meletakkan surat itu di tempat terlihat di atas bantal, di samping rukuhnya.

Tambangraras memulai perjalanannya hanya dengan diterangi sinar rembulan. Ia pergi di hari senin, tanggal 14 bulan Rajab, bersama abdinya Centhini, dan hanya membawa kantong uang dan satu sisir, dan tembang ini di bibir:

Air pasang dari hulu
Hujan lebat pulang menambak
Matahariku pergi dahulu
Kususul bagai awan tergerak.

(Tembang 136)

Tokoh-tokoh dalam cerita Centhini (Cebolang)

Cebolang
Anaknya Cheikh Akhadiyat di Sokayasa


Cebolang bertubuh luwes dan licin layaknya penari Ramayana dan berparas indah bagaikan gadis yang sedang mekar. Keelokannya yang kabur telah membakar semua budi dalam raganya, dan ini di luar kehendaknya, sebab tiap kedipnya, tiap kial tangannya, menyulut nafsu wanita maupun pria yang tersentuh olehnya, walau tak sengaja.

Ketiga pujangga yang ditugasi menyusun Sang Suluk itu sendiri terganggu oleh kehadiran lancang remaja ini dalam macapat mereka sehingga mereka menyerahkan tembangnya yang paling liar kepada Putra Mahkota Surakarta Adiningrat. Anom Amengkunegara III sangat gembira bisa membubuhkan gayanya dalam karya yang ia pesan.

Beberapa oknum kraton yang picik pikirannya mencela Minggatnya Cebolang seolah-olah itu wanita piaraan pangeran. Mereka berkasak-kusuk agar tembang-tembang ini dikeluarkan dari Suluk dengan dalih akan menodainya. Sebenarnya Minggat itu suatu cermin. «Pendengar yang munafik, sesamaku, saudaraku!» catat Anom Amengkunegara di prakata Minggat yang lantas menjadi karyanya.

Kepada ayahnya, Baginda Pakubuwono IV, yang mahir tulisan ilmiah mengenai tata krama dan sopan-santun, ia berkata: "Akan Ananda buktikan, Ayanda, bahwa nafsu-nafsi Ananda, suatu hari nanti, akan membimbing Ananda kepada Ilmu Kasampurnan. Harus kita kenali kebatilan di ambang jalan kebatinan."

Sayang, setelah Pakubuwono IV wafat, Pangeran Anom begitu naik takhta segera dijemput malaikat raja singa. Sudahkan beliau mencapai Ilmu Kasampurnan ? Babad Kraton bungkam mengenai masa pemerintahannya yang kilat itu, sebab seseorang tidak bisa menjadi raja dan bebas. Namun Minggatnya Cebolang naik saksi.

(tembang 25)


Usai kata-kata itu, Cebolang mencampakkan selendangnya, memperlihatkan dadanya yang rata dan melepas sarung yang menutupi lingga mahoninya. Nyai Demang mendekatinya pelan-pelan untuk menjinakkannya dengan pandangan matanya: “Aku belum pernah melihat apa pun setampan ini!” katanya. Cebolang lalu menutup kelambu dan menggeser sekat wangi berkerawang di bawah nyanyian orang kasmaran mabuk terperosok ke lubuk perigi:

Di susunya jamur biru
Kembang-kembang kusam di sanggul
Batangnya bagai bandulan bambu
Di dasar sumur gandrung

Biarlah gong mengguncang wayang
Mengaburkan tubuh satu dalam lainnya
Biarlah melampaui malam ini menyebar
Kabar takjub tak terkata mereka.

(Tembang 44)