Kamis, 17 Juli 2008

Tokoh-tokoh dalam cerita Centhini (Cebolang)

Cebolang
Anaknya Cheikh Akhadiyat di Sokayasa


Cebolang bertubuh luwes dan licin layaknya penari Ramayana dan berparas indah bagaikan gadis yang sedang mekar. Keelokannya yang kabur telah membakar semua budi dalam raganya, dan ini di luar kehendaknya, sebab tiap kedipnya, tiap kial tangannya, menyulut nafsu wanita maupun pria yang tersentuh olehnya, walau tak sengaja.

Ketiga pujangga yang ditugasi menyusun Sang Suluk itu sendiri terganggu oleh kehadiran lancang remaja ini dalam macapat mereka sehingga mereka menyerahkan tembangnya yang paling liar kepada Putra Mahkota Surakarta Adiningrat. Anom Amengkunegara III sangat gembira bisa membubuhkan gayanya dalam karya yang ia pesan.

Beberapa oknum kraton yang picik pikirannya mencela Minggatnya Cebolang seolah-olah itu wanita piaraan pangeran. Mereka berkasak-kusuk agar tembang-tembang ini dikeluarkan dari Suluk dengan dalih akan menodainya. Sebenarnya Minggat itu suatu cermin. «Pendengar yang munafik, sesamaku, saudaraku!» catat Anom Amengkunegara di prakata Minggat yang lantas menjadi karyanya.

Kepada ayahnya, Baginda Pakubuwono IV, yang mahir tulisan ilmiah mengenai tata krama dan sopan-santun, ia berkata: "Akan Ananda buktikan, Ayanda, bahwa nafsu-nafsi Ananda, suatu hari nanti, akan membimbing Ananda kepada Ilmu Kasampurnan. Harus kita kenali kebatilan di ambang jalan kebatinan."

Sayang, setelah Pakubuwono IV wafat, Pangeran Anom begitu naik takhta segera dijemput malaikat raja singa. Sudahkan beliau mencapai Ilmu Kasampurnan ? Babad Kraton bungkam mengenai masa pemerintahannya yang kilat itu, sebab seseorang tidak bisa menjadi raja dan bebas. Namun Minggatnya Cebolang naik saksi.

(tembang 25)


Usai kata-kata itu, Cebolang mencampakkan selendangnya, memperlihatkan dadanya yang rata dan melepas sarung yang menutupi lingga mahoninya. Nyai Demang mendekatinya pelan-pelan untuk menjinakkannya dengan pandangan matanya: “Aku belum pernah melihat apa pun setampan ini!” katanya. Cebolang lalu menutup kelambu dan menggeser sekat wangi berkerawang di bawah nyanyian orang kasmaran mabuk terperosok ke lubuk perigi:

Di susunya jamur biru
Kembang-kembang kusam di sanggul
Batangnya bagai bandulan bambu
Di dasar sumur gandrung

Biarlah gong mengguncang wayang
Mengaburkan tubuh satu dalam lainnya
Biarlah melampaui malam ini menyebar
Kabar takjub tak terkata mereka.

(Tembang 44)

1 komentar: