Kamis, 17 Juli 2008

Tokoh-tokoh dalam cerita Centhini (Sultan Agung)

Sultan Agung

Ki Tumenggung Wiraguna dan pengawalnya kembali senja ke keraton Mataram. Bronjong kosong mereka bawa sebagai bukti keajaiban yang telah terjadi. Di waktu Sultan Agung bersidang, semua dipersilahkan menghadap. Para prajurit dan ulama membuka jalan menembus tiga lingkaran abdi dalem yang jongkok di debu, telanjang dada, kuncir terurai di punggung, mata menatap tanah.

Sultan Agung didampingi di kirinya oleh empat badut cebol, di kanannya empat puluh gadis berlutut, bersenjata tombak yang memancarkan lidah api di atas pundak telanjang mereka. Sultan Agung mengenakan di jemari kedua tangannya serangkaian batu mulia dan intan paling gemerlap.

Ia mendengarkan Wiraguna menuturkan lengkap kisah tugasnya hingga lenyapnya wadak Amongraga di dalam bronjong diceburkan ke samudra. Kemudian, tiga kali menyedot cangklong peraknya, Sultan Agung tersenyum dan berkata:

"Ketahuilah jika aku, aku tidak akan menghukumnya. Kalian semua, ulama dan prajurit dan kamu, Ki Tumanggung Wiraguna, dikirim untuk menghadapi uji coba Keindahan, tapi kalian tak mengenalinya. Kini, enyahlah, semoga kebutaan kalian sirna selamanya dari pandanganku! Hukuman hanya milik Allah!"

(Tembang 133)


Dikatakan bahwa setiap malam jumat, setelah sepanjang hari menerima keluhan rakyatnya di Pengalaran, Sultan Agung pura-pura undur diri ke kediamannya untuk rebahan di samping ratunya, di bawah penjagaan sembilan merak bermata bertaburan bintang. Namun, begitu selesai salat magrib, Yang Mulia mengenakan kain putih layaknya petapa dan menyelinap dari keraton seolah pencuri kuda, jalan berkaki telanjang menuju padepokannya di puncak Gunung Telamaya.

Di atas sana, di balik penyamarannya, ia menyebarkan ajaran tentang ngelmu dan agama. Tak seorang pun di antara banyak tentara, patih dan adipati yang naik minta nasihat kepadanya menduga bahwa orang bijaksana yang berpakaian usang dan memberikan usul itu adalah raja mereka. Semua berpikir bahwa dia adalah seorang petapa tulen yang menyandang gelar Sang Aji Nyakrakusuma.

Demikianlah penduduk desa-desa sekitarnya menyebutnya, sebab orang-orang datang dari jauh untuk menemuinya dan meminta nasihatnya tentang berbagai hal. Beberapa di antara mereka minta agar anaknya pintar, mendapat kedudukan terhormat, uang berlimpah atau obat ajaib. Lainnya minta ilmu keinginan murni, kasunyatan sempurna dan kepahlawanan.

Sang petapa menanggapi semua permintaan itu kecuali yang menimbulkan kejahatan. Ketika dua orang saling membenci, ia berupaya merukunkan keduanya dan meluluhkan perbedaan mereka dalam kesatuan Ilahi. Semua tamunya ingin mengikatkan diri pada harta benda dan rohani, tak seorang pun minta agar bisa lepas dari dirinya sendiri.

(Tembang 148)

1 komentar: